Pendidikan, Buku, dan Orang Tua

teknik pengujian baca cepat

 Pendidikan, Buku, dan Orang Tua

Oleh: Direktur Komunitas Stingghil dan pengajar di LBB Ganesha Operation Sampang.

TELAH ditetapkan bahwa 2 Mei sebagai Hari Pendidikan Nasional yang didasari kelahiran Bapak Pendidikan Indonesia, Ki Hajar Dewantara. Pemikiran beliau telah melahirkan perjuangan manusia Indonesia akan kebutuhan hak pendidikan. Berselang lima belas hari setelah itu, ditetapkan pula hari Buku Nasional yang didasari oleh berdirinya Perpustakaan Nasional, 17 Mei 1980 pada era Menteri Pendidikan RI, Abdul Malik Fajar. Suatu keberkahan bahwa Mei adalah bulan kebangkitan nasional dengan pendidikan dan buku sebagai tonggak perubahan bangsa.

Saat ini, pendidikan telah menjadi sedemikian formal yang merujuk pada kegiatan bersekolah. Semangat yang sama saat Ki Hajar Dewantara mencetuskan ide tentang pendidikan. Yakni, mendirikan dan memberikan kesempatan sekolah bagi pribumi dengan berdirinya Taman Siswa.

Lain dari itu, pendidikan menjadi aktivitas eksklusif bagi kalangan masyarakat, khususnya orang tua. Pendidikan hanya dimaknai sebatas aktivitas sekolah anak-anak. Keterlibatan orang tua sebatas penyandang dana, penyedia fasilitas, dan pengawasan belajar di rumah tanpa keterlibatan secara aktif. Padahal, pendidikan adalah aktivitas berkesinambungan yang rohnya adalah belajar yang tidak mengenal ruang dan waktu. Karena itu, dituntut peran aktif orang tua.

Pendidikan sejatinya bukan melulu soal materi (sekolah, kurikulum, dsb.) Pendidikan, sebagaimana disebut di atas, adalah proses dari roh utama, yakni belajar, dan sumber belajar paling utama ada dalam buku. Dalam buku, banyak hal yang bisa dibaca untuk memperkaya wawasan.

Proses pendidikan pun tidak terlepas dari buku dan kegiatan membaca. Fakta itu sangat gamblang terbaca bahwa pengeluaran orang tua terhadap pendidikan anak, salah satunya, pembelanjaan buku-buku pendukung. Tanpa itu, mustahil proses pendidikan menemukan hasilnya. Namun, buku tetaplah kumpulan kertas tanpa makna: tempat tercetaknya sekian huruf membentuk kata, kalimat, paragraf, dan wacana.

Buku, dalam proses pendidikan yang eksklusif itu, tak lebih dari sebuah benda yang dibaca sekadar tuntutan kurikulum yang isinya cenderung ”menyeramkan”. (Membaca) buku belum ditempatkan sebagai roh utama proses pendidikan. Yakni, menjadikannya sebagai kegemaran, sumber pengetahuan, tumbuh kembangnya dialektika pemikiran, dan terbukanya cakrawala pengetahuan dunia. Karena itu, perlu revitalisasi peranan orang tua dalam pendidikan pada kegemaran membaca buku.

Jika orang tua rela mengeluarkan uang demi membeli buku pelajaran, membelikan anaknya berbagai fasilitas nonbuku, mengapa tidak menyisihkan kesempatan untuk memenuhi rak dalam rumahnya dengan buku. Sebuah rumah yang di dalamnya ada hamparan buku dan orang tua terlibat aktif dalam ”kebisuan”, karena membaca buku adalah sebuah teladan lingkungan terdidik.

[quote]Rendahnya minat baca siswa di era gadget menemukan tantangan lebih pelik. Selain tidak tercipta lingkungan pembaca buku di rumah, siswa dihadapkan pada minimnya fasilitas buku bacaan di sekolah.[/quote]

Canangan pemerintah melalui Menteri Pendidikan Anies Baswedan, tentang program 15 menit membaca buku sebelum KBM adalah langkah konkret untuk menstimulasi kegemaran anak pada membaca buku. Sebab, fakta di negeri ini, kegiatan membaca buku adalah jauh panggang dari api. Indeks minat baca bangsa ini sangat rendah.

Data UNESCO 2012 yang selalu dikutip sampai saat ini menunjukkan bahwa minat baca Indonesia baru mencapai 0,0001. Artinya, dalam setiap 1.000 orang Indonesia, hanya satu orang yang mempunyai minat baca.

Secara khusus, rendahnya minat baca siswa di era gadget ini menemukan tantangan yang lebih pelik. Selain tidak terciptanya lingkungan pembaca buku di rumah, di sekolah siswa dihadapkan pada minimnya fasilitas buku bacaan. Parahnya, dalam pengalaman saya sebagai pengajar, ada siswa yang dilarang orang tua membaca buku nonpelajaran. Orang tua menilai anaknya tidak termasuk kategori belajar ketika membaca buku selain buku pelajaran, utamanya membaca karya sastra. Padahal, program 15 menit membaca sebelum KBM adalah bukan membaca buku pelajaran.

Canangan Menteri Pendidikan tersebut seyogianya menjadi pekerjaan mudah. Andai kata peran aktif orang tua sangat besar dalam memberikan teladan menjadi masyarakat pembaca buku, patut diduga bahwa rendahnya minat baca masyarakat karena lingkungan keluarga, sebagai stakeholder primer pendidikan, belum memberikan fasilitas terhadap kebutuhan buku.

Secara gamblang, produk kebudayaan kita, utamanya film dan tontonan di televisi, menggambarkan hal tersebut. Mari kita tengok film-film Indonesia. Di dalamnya tidak banyak adegan yang mempertontonkan kegiatan membaca buku, juga sekadar menampilkan properti tumpukan buku. Hal ini berbeda ketika kita melihat film-film luar negeri. Tidak sedikit dalam filmnya menampilkan buku sebagai properti. Kita bisa lihat beberapa contoh, seperti Upin danIpin, Masha and The Bear, Harry Potter, dan sebagainya.

Rendahnya minat baca siswa adalah tugas dunia pendidikan yang secara formal harus menjadi wadah terciptanya masyarakat pembaca. Namun, di tengah tumpukan kurikulum yang harus diselesaikan, peran sekolah harus dibantu peran orang tua. Orang tua harus membangun kembali kesadaran tentang pentingnya membaca sebagai bagian dari proses pendidikan.

Sebab, dalam pendidikan formal, kegiatan membaca buku (nonpelajaran) tidak termasuk sebagai bagian dari kurikulum. Pun pendidikan karakter yang sedang digadang-gadang pemerintah harus melibatkan kekayaan wawasan siswa yang bisa diperoleh jika siswa membaca buku.

Seperti di tulis di http://radarmadura.jawapos.com/

 

Pendidikan, Buku, dan Orang Tua – Padamu Negeri

Admin Padamu

Mengingat pentingnya pendidikan bagi semua orang, maka Admin Blog Padamu Negeri ingin berbagi pengetahuan dan informasi seputar pendidikan walaupun dengan keterbatasan yang ada.

Related Posts

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *