Seni Serat yang Terpinggirkan

seni serat

Seni serat barangkali termasuk ranah seni yang masih dianaktirikan dan kurang ngetren di negeri ini. Seni ini masih kalah pamor oleh seni lukis, patung, atau yang lain. Justru karena itulah, seni serat harus terus dikenalkan dan dieksplorasi sehingga mendapat tempat.

Seni Serat

Seni serat sebenarnya tak lebih dari kenyataan bahwa benang, pita, dan aneka kain “yang dikategorikan serat” biasanya hanya menjadi fitur pelengkap alias dicomot sedikit dalam pameran-pameran seni rupa.

Seni serat bisa menjelma bentuk indah. Tak hanya menjadi benda, melainkan juga deretan teks dan huruf. Bahkan, dengan menggunakan teknik celup ikat, misalnya, secara apik menyulap serat menjadi benda-benda lucu.

Kritik Sosial Melalui Seni Serat

Misalkan saja, dalam sebuah ajang pameran seni tampak puluhan apel warna hijau yang terbuat dari gulungan kain katun, kemudian sejumlah apel ditaruh terserak di lantai, sebagian lagi ditempelkan di bentangan kain “berbentuk apel juga” pada dinding. Di setiap apel ditorehkan tulisan made in Indonesia.

Selain menampilkan estetika, seni serat di atas bisa mewakili keresahan dengan kenyataan di masyarakat tentang apel. Di supermarket bakal dijumpai deretan apel-apel impor. Ke mana apel buatan bangsa? Mengapa apel-apel impor yang malah nangkring?

Salah satu berkreasi lain lewat obyek trimatra dengan benang merah menjulur di sana-sini. Akan tetapi, uniknya kain itu batik bermotif parang barong. Motif tersebut bisa dibilang pantangan dalam masyarakat Jawa. Motif ini dikenal sebagai motif batik khusus bagi bangsawan keraton atau pemimpin.

Zaman berubah. Seperti ketika dulu orang berbicara dan bangga tentang darah biru (bangsawan), tapi sekarang itu sudah usang. Yah, dengan alasan yang lebih kurang sama, saat ini masyarakat luas berani memakai motif parang barong yang dulu khusus bagi bangsawan keraton.

Ada terselip kegalauan dan kekritisan atas seni serat dengan benang merah menjulur di sana-sini nya. Seni tradisi Jawa tidak harus hanya menjadi barang yang menunggu waktu untuk hilang karena tak ada penerus, bahkan malah tak banyak yang kenal. Jika itu terjadi, matilah tradisi dan satu penggal kekayaan budaya runtuh.

Seni serat dengan menggunakan kain polister dan kain katun dibentuk menjadi 20 kotak pipih, dengan menambah “imbuhan kata” yang sulit dicerna. Misalnya “Jawa adalah Kunci” dan “Petani Mencukur Kumis”. Tapi, memang tak perlu mencerna apa maknanya . Namun barangkali si seniman ingin bilang bahwa ayolah bangsa ini dan masyarakat memberi banyak tempat pada seni serat.

Di luar negeri, seperti Australia, Amerika, dan negara-negara Timur Tengah, seni serat sudah berkembang. Pameran banyak diselenggarakan. Di sana, seni serat boleh dibilang sejajar dengan seni-seni lain.

Dengan serat, seniman bisa dan bebas mengekplorasi diri. Apa pun imajinasinya bisa diwujudkan. Serat justru fleksibel untuk bercerita. Mudah dibentuk, tapi juga kuat. Serat ada di sekitar kita, tinggal pilih.

Dengan serat, bisa membuat karya berbeda. Benang merahnya, seni serat menemukan kembali tempatnya sehingga bisa menyuarakan keinginan hati. Mereka membuktikan bahwa serat bisa “hidup”.

 

Materi – Seni Serat yang Terpinggirkan

Admin Padamu

Mengingat pentingnya pendidikan bagi semua orang, maka Admin Blog Padamu Negeri ingin berbagi pengetahuan dan informasi seputar pendidikan walaupun dengan keterbatasan yang ada.

Related Posts

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *