Beragam Dialek Bahasa di Jawa Tengah

bahasa di jawa tengah

Jawa Tengah, sebuah provinsi yang kaya akan sejarah dan budaya, menjadi rumah bagi mayoritas penduduk yang berbicara dalam bahasa Jawa. Namun, di balik keseragaman ini, provinsi ini juga menampilkan keberagaman linguistik yang menarik. Terdapat enam dialek bahasa Jawa yang berbeda di wilayah ini, masing-masing mencerminkan warisan sejarah dan kekayaan budaya yang unik. Dari Dialek Tegal-Banyumas hingga Dialek Surakarta-Yogyakarta, setiap dialek membawa ciri khasnya sendiri, memperkaya lanskap linguistik Jawa Tengah. Mari kita telusuri lebih jauh tentang kekayaan linguistik ini dan memahami bagaimana setiap dialek mencerminkan identitas dan keunikan wilayah ini.

1. Dialek Tegal-Banyumas

Dialek Tegal-Banyumas, atau yang sering disebut Basa Ngapak, adalah salah satu varian dialek dari Bahasa Jawa yang digunakan di wilayah barat Jawa Tengah, mencakup daerah seperti Pemalang, Tegal, Brebes, Banyumas, Cilacap, Kebumen, Purbalingga, dan Banjarnegara. Dialek ini memiliki ciri khas tersendiri yang membedakannya dari dialek Bahasa Jawa lainnya, terutama karena masih terjaga keterkaitannya dengan Bahasa Jawa Kuno, atau Kawi.

Karakteristik Dialek Tegal-Banyumas:

Bahasa Banyumasan, yang menjadi salah satu komponen penting dalam Dialek Tegal-Banyumas, masih memiliki hubungan erat dengan Bahasa Jawa Kuno atau Kawi. Keterkaitan ini mempengaruhi perkembangan dan kekhasan dialek ini.

Perbedaan dalam Kosakata dan Logat

Meskipun memiliki kosa kata yang serupa dengan Dialek Banyumas, pengguna Dialek Tegal tidak selalu mau diidentifikasi sebagai “ngapak”. Hal ini disebabkan oleh perbedaan intonasi, pengucapan, dan makna kata antara kedua dialek tersebut.

Pengaruh Budaya dan Sosial

Wilayah Banyumasan tidak terlalu terpengaruh oleh struktur sosial feodal seperti daerah-daerah lain di Jawa. Hal ini mempengaruhi perkembangan bahasa dan memunculkan perbedaan yang cukup mencolok dengan Bahasa Jawa standar.

Tingkatan Bahasa Berdasarkan Status Sosial

Meskipun terdapat tingkatan bahasa berdasarkan status sosial dalam perkembangan Bahasa Jawa, pengaruhnya tidak begitu signifikan di wilayah Banyumasan. Hal ini tercermin dalam istilah “bandhekan” yang mewakili gaya Bahasa Jawa standar, yang dikenal di masyarakat Banyumasan sebagai bahasa “wetanan” atau “timur”.

Perbedaan dengan Dialek Yogyakarta dan Surakarta:

  • Pengucapan Akhiran ‘a’: Dialek Tegal-Banyumas mempertahankan pengucapan ‘a’ pada akhiran kata, berbeda dengan pengucapan ‘ό’ yang umum di Dialek Yogyakarta dan Surakarta. Misalnya, kata “nasi” dalam dialek Yogyakarta dan Surakarta diucapkan “segό”, sedangkan dalam dialek Banyumasan diucapkan “sega”.
  • Pengucapan Huruf Mati: Kata-kata dengan akhiran huruf mati dibaca secara penuh dalam dialek Banyumasan, misalnya, kata “enak” akan diucapkan dengan jelas sebagai “enak”, sedangkan dalam dialek lain seperti Yogyakarta dan Surakarta, cenderung diucapkan sebagai “ena”.

Subdialek dalam Basa Ngapak:

Basa Ngapak dikenal memiliki beberapa subdialek, yang mungkin memiliki perbedaan-perbedaan kecil dalam kosakata, pengucapan, atau tata bahasa, tergantung pada daerahnya masing-masing. Subdialek ini merupakan refleksi dari keragaman budaya dan geografis di wilayah Jawa Tengah bagian barat.

2. Dialek Pekalongan

Dialek Pekalongan merupakan salah satu varian dialek dari Bahasa Jawa yang dituturkan di wilayah Kabupaten Batang, Kota Pekalongan, dan Kabupaten Pekalongan, Jawa Tengah. Karakteristik utamanya adalah kesederhanaan dalam struktur bahasa namun memiliki tingkat komunikasi yang tinggi. Namun, persepsi terhadap dialek ini berbeda-beda tergantung dari daerah asal penuturnya.

Ciri Khas Dialek Pekalongan:

Sederhana namun Komunikatif

Dialek Pekalongan dikenal karena struktur bahasanya yang sederhana namun efektif dalam komunikasi sehari-hari.

Persepsi Berbeda

Orang dari Yogyakarta atau Surakarta mungkin menganggap dialek ini kasar dan sulit dimengerti, sementara bagi orang dari Tegal, dialek Pekalongan dianggap memiliki tingkat pemahaman yang setara namun tetap sulit dimengerti.

Kosakata yang Mirip dengan Dialek Tegal

Meskipun menggunakan kosakata yang sama dengan Dialek Tegal, pengucapan dalam dialek Pekalongan tidak begitu kental, melainkan lebih datar.

Penggunaan Istilah Khas

Beberapa istilah yang khas dalam dialek Pekalongan antara lain:

    • Kokuwe: Artinya “sepertimu”.
    • Tak nDangka’i: Artinya “aku kira”.
    • Jebhul no’o: Artinya “ternyata”.
    • Lha mbuh: Artinya “tidak tahu”.

Contoh Pengucapan:

Beberapa contoh pengucapan khas dalam dialek Pekalongan antara lain:

  • ri
  • ra
  • po’o
  • ha’ah pok
  • lha
  • ye

Perbandingan dengan Dialek lain:

  • Dialek Tegal: Meskipun kedua dialek ini memiliki beberapa kesamaan kosakata, pengucapan dalam dialek Pekalongan cenderung lebih datar dibandingkan dengan dialek Tegal yang memiliki ciri khas intonasi dan pengucapan yang berbeda.

3. Dialek Kedu

Dialek Kedu adalah salah satu varian dialek Bahasa Jawa yang dituturkan di daerah Kedu, yang meliputi Prembun, Purworejo, Magelang, dan khususnya Temanggung. Dialek ini memiliki karakteristik yang sangat khas, karena merupakan hasil dari perpaduan antara dialek “bandek” (Yogya-Solo) dan dialek “ngapak” (Banyumas).

Karakteristik Dialek Kedu:

Perpaduan antara Dialek Bandek dan Ngapak: Dialek Kedu terkenal karena merupakan pertemuan antara dua dialek utama, yaitu dialek “bandek” dan “ngapak”. Hal ini mempengaruhi cara bicara yang sangat khas dalam dialek ini.

Contoh Kosakata yang Menunjukkan Pengaruh Dialek Ngapak dan Bandek:

    • “Nyong”: Artinya “aku”, tetapi dalam dialek Bandek (Yogyakarta-Surakarta) biasanya digunakan kata “aku”, sedangkan dalam dialek Ngapak (Banyumas) kata “nyong” lebih umum.
    • “Njagong”: Artinya “duduk”, penggunaan kata ini menunjukkan pengaruh dari dialek Ngapak.
    • “Gandhul”: Artinya “pepaya”, merupakan kata yang digunakan dalam dialek Ngapak.
    • “Mberuh”: Artinya “tidak tahu”, juga merupakan kata yang dipengaruhi oleh dialek Ngapak.
    • “Krongsi”: Artinya “kursi”, penggunaan kata ini menunjukkan pengaruh dari dialek Bandek.

Pengantar dalam Tuturan: Dalam basa-basi atau percakapan sehari-hari, masyarakat Temanggung sering menggunakan pengantar-pengantar seperti “eeeee”, “ooooo”, “lha kok”, “ehalah”, “ha-inggih”, untuk menambah kesan santai dan ramah dalam komunikasi.

Perbandingan dengan Dialek Bandek dan Ngapak:

  • Dialek Bandek (Yogyakarta-Surakarta): Lebih sering menggunakan kosakata standar Jawa seperti “aku”, sedangkan dalam dialek Kedu, kata “nyong” lebih umum.
  • Dialek Ngapak (Banyumas): Dialek Ngapak memiliki ciri khas dalam intonasi dan pengucapan, sementara dalam dialek Kedu, ciri-ciri ini mencampur dengan pengaruh dari dialek Bandek.

Contoh Penggunaan Pengantar dalam Tuturan:

  • “Eeee”: Digunakan untuk mengekspresikan keheranan atau kekaguman.
  • “Ooooo”: Digunakan untuk mengekspresikan pengetahuan atau pengalaman yang baru.
  • “Lha kok”: Digunakan sebagai pengantar dalam menyampaikan pendapat atau pertanyaan.
  • “Ehalah”: Digunakan untuk mengekspresikan keputusasaan atau keputus-asaan.
  • “Ha-inggih”: Digunakan untuk menegaskan atau mengiyakan suatu pernyataan.

4. Dialek Semarangan

Dialek Semarangan, yang dituturkan di daerah Semarang, memiliki karakteristik unik yang membedakannya dari dialek Jawa lainnya. Letak geografis Semarang yang heterogen, antara pesisir dan daerah pegunungan, memengaruhi perkembangan dialek ini, yang mencakup penggunaan kata-kata ngoko, ngoko andhap, dan madya.

Ciri Khas Dialek Semarangan:

Perbedaan dalam Kosakata Berdasarkan Daerah

Dialek Semarangan memiliki variasi dalam penggunaan kosakata ngoko, ngoko andhap, dan madya, yang dipengaruhi oleh keberagaman geografis daerah Semarang, termasuk dari pesisir hingga pegunungan.

Kesukaan dalam Menyingkat Frasa

Masyarakat Semarang cenderung menyingkat frasa-frasa dalam tuturannya. Contohnya, “Lampu abang ijo” (lampu lalu lintas) disingkat menjadi “Bang-Jo”, dan “seratus” (100) menjadi “nyatus”.

Penyimpangan dalam Penggunaan Kata dan Frasa

Ada kalimat-kalimat yang disingkat atau dimodifikasi, seperti “Arep numpak Honda” yang artinya “akan naik sepeda motor”. Modifikasi ini mencerminkan perubahan zaman dan perkembangan penggunaan bahasa sehari-hari.

Pengaruh Budaya Heterogen

Adanya warga dengan latar belakang budaya yang beragam, seperti Jawa, Tiongkok, Arab, Pakistan/India, juga mempengaruhi kosakata dan dialektik Semarang. Ini menambah kekayaan dan keunikan dalam dialek Semarangan.

Penggunaan Partikel “ik”

Partikel “ik” sering digunakan oleh masyarakat Semarang untuk mengungkapkan kekaguman atau kekecewaan. Contohnya, “Apik,ik!” (Alangkah indahnya!) untuk kekaguman, dan “Wonge lungo, ik” (Sayang, orangnya pergi!) untuk kekecewaan. Partikel ini tidak umum dalam bahasa Jawa standar.

Contoh Ungkapan Khas Dialek Semarangan:

  • “Piye, jal?”: Artinya “Bagaimana, coba?”.
  • “Yo, mesti!”: Artinya “Iya, pasti!”.
  • Penggunaan partikel “ik” untuk mengungkapkan kekaguman atau kekecewaan, seperti “Apik,ik!” (Alangkah indahnya!) dan “Wonge lungo, ik” (Sayang, orangnya pergi!).

5. Dialek Pantai Utara Timur Jawa Tengah

Dialek Pantai Utara Timur Jawa Tengah, sering disebut sebagai “Dialek Muria” karena dituturkan di wilayah sekitar kaki gunung Muria, mencakup daerah Jepara, Kudus, Pati, Blora, dan Rembang. Dialek ini memiliki ciri khas yang membedakannya dari dialek Bahasa Jawa lainnya.

Ciri Khas Dialek Pantai Utara Timur:

Penggunaan Akhiran -em atau -nem untuk Kata Ganti Posesif Orang Kedua Tunggal: Dalam dialek ini, akhiran -em atau -nem digunakan untuk menyatakan kata ganti posesif orang kedua tunggal, menggantikan akhiran -mu dalam Bahasa Jawa standar. Akhiran -em digunakan jika kata berakhiran huruf konsonan, sementara -nem digunakan jika kata berakhiran vokal.

Contoh Kata dengan Akhiran -em atau -nem: Contoh kata yang menggunakan dialek ini adalah “kathok” (celana) menjadi “kathokem”, dan “sikhil” (kaki) menjadi “sikhilem”.

Penggunaan Partikel “Eh”: Dalam percakapan sehari-hari, sering digunakan partikel “eh” dengan vokal “e” diucapkan panjang, untuk menggantikan partikel bahasa Jawa “ta”. Contohnya, “Aja ngono, eh!” (Jangan begitu, dong!) lebih umum diucapkan daripada “Aja ngono, ta!”.

Kosakata Khas: Beberapa kosakata khas dalam dialek ini tidak dipakai dalam dialek Bahasa Jawa lainnya, seperti:

    • “Lamuk” atau “Jengklong”: Artinya “nyamuk”.
    • “Mbledeh” atau “Mblojet”: Artinya “telanjang dada”.
    • “Wong bento”: Artinya “orang gila”

6. Dialek Surakarta-Yogyakarta

Dialek Surakarta-Yogyakarta, juga dikenal sebagai dialek Mataraman, adalah dialek Bahasa Jawa yang diucapkan di daerah Surakarta dan Yogyakarta, serta daerah tengah Pulau Jawa, mulai dari Kabupaten Blitar di timur hingga Kabupaten Kendal di barat. Dialek ini merupakan standar bagi pengajaran Bahasa Jawa baik di dalam negeri maupun secara internasional, dan memiliki beberapa ciri khas yang membedakannya dari dialek Bahasa Jawa lainnya.

Ciri Khas Dialek Surakarta-Yogyakarta:

Penggunaan Dialek “ό” (å): Dialek ini ditandai dengan penggunaan dialek “ό” (å) dalam berbagai kosakata, menggantikan dialek “a” yang digunakan dalam Bahasa Jawa kuno dan beberapa dialek lainnya, seperti Dialek Tegal-Banyumasan. Hal ini memberikan ciri khas tersendiri pada dialek Surakarta-Yogyakarta.

Undhak-Undhuk Basa: Bahasa Jawa baku, termasuk dialek Surakarta-Yogyakarta, mengenal undhak-undhuk basa yang menjadi bagian integral dalam tata krama (etiket) masyarakat Jawa dalam berbahasa. Hal ini mencerminkan struktur sosial dan hierarki yang ada dalam masyarakat Jawa.

Varian Variasi Bahasa: Terdapat tiga bentuk utama variasi dalam dialek ini, yaitu ngoko (“kasar”), madya (“biasa”), dan krama (“halus”). Di antara masing-masing bentuk ini terdapat bentuk “penghormatan” (ngajengake, honorific) dan “perendahan” (ngasorake, humilific). Variasi ini mencerminkan tingkat kesopanan dan hierarki sosial dalam percakapan.

Contoh Ungkapan

Contoh ungkapan dalam Bahasa Indonesia dan variasi dialek Bahasa Jawa Surakarta-Yogyakarta menunjukkan perbedaan dalam penggunaan bahasa yang mengungkapkan status sosial dan hubungan antara pembicara:

    • Bahasa Indonesia: “Maaf, saya mau tanya rumah Kak Budi itu, di mana?”
    • Ngoko Kasar: “Eh, aku arȇp takόn, omahé Budi kuwi, níng ȇndi ?’”
    • Madya Alus: “Nuwun séwu, kula ajeng tanglȇt, dalȇmé Mas Budi niku, ‘tȇng pundi ?”

Pengaruh Pusat Budaya

Daerah yang semakin dekat dengan pusat budaya, seperti Surakarta dan Yogyakarta, cenderung menggunakan dialek yang lebih halus atau menyerupai “standar Bahasa Jawa”. Sebaliknya, daerah yang jauh dari pusat budaya akan cenderung menggunakan dialek yang lebih kasar.

 

Beragam Dialek Bahasa di Jawa Tengah

Admin Padamu

Mengingat pentingnya pendidikan bagi semua orang, maka Admin Blog Padamu Negeri ingin berbagi pengetahuan dan informasi seputar pendidikan walaupun dengan keterbatasan yang ada.

Related Posts

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *