
Belajar merupakan salah satu aktivitas fundamental dalam kehidupan manusia. Sejak lahir, manusia terus menjalani proses belajar, baik secara sadar maupun tidak sadar. Belajar tidak hanya terbatas pada kegiatan akademik di sekolah, tetapi juga mencakup segala bentuk pengalaman yang mampu mengubah pengetahuan, keterampilan, maupun sikap seseorang. Secara umum, belajar dapat diartikan sebagai suatu proses perubahan dari keadaan tidak tahu menjadi tahu, dari tidak mengerti menjadi mengerti, serta dari tidak bisa menjadi bisa. Perubahan ini diharapkan berlangsung secara optimal sehingga menghasilkan peningkatan kemampuan individu.
Dalam dunia pendidikan, banyak ahli telah memberikan definisi belajar sesuai dengan sudut pandang mereka masing-masing. Salah satu tokoh penting yang turut memberikan sumbangan pemikiran mengenai hakikat belajar adalah John Burville Biggs, seorang psikolog pendidikan asal Australia. Melalui pemikirannya, Biggs menekankan bahwa belajar bukan sekadar mengumpulkan informasi, melainkan suatu proses yang lebih kompleks dan bermakna.
John Burville Biggs dan Pemikirannya tentang Belajar
John Burville Biggs lahir di Hobart, Tasmania pada tahun 1934. Ia dikenal luas sebagai psikolog pendidikan yang memiliki perhatian besar terhadap cara siswa memahami, memaknai, serta menguasai materi pembelajaran. Biggs meyakini bahwa proses belajar tidak bisa dipandang hanya dari satu sisi saja, melainkan harus dilihat dari berbagai dimensi yang saling berkaitan.
Menurut Biggs, terdapat tiga macam rumusan belajar yang dapat menjelaskan bagaimana proses tersebut berlangsung. Ketiga rumusan tersebut mencakup aspek kuantitatif, institusional, dan kualitatif. Masing-masing memiliki fokus yang berbeda, namun saling melengkapi dalam memahami makna belajar secara utuh.
1. Rumusan Kuantitatif: Belajar Sebagai Pengisian Pengetahuan
Rumusan pertama yang dikemukakan Biggs adalah rumusan kuantitatif. Dalam pandangan ini, belajar dipahami sebagai kegiatan mengisi atau mengembangkan kemampuan kognitif dengan fakta-fakta sebanyak mungkin. Seseorang dianggap belajar jika ia mampu menguasai sejumlah besar materi pelajaran yang disampaikan.
Contoh penerapan dari rumusan ini dapat ditemukan pada sistem pendidikan yang sangat menekankan hafalan. Siswa diminta untuk menguasai sejumlah data, definisi, maupun rumus secara lengkap. Keberhasilan mereka diukur dari seberapa banyak informasi yang mampu diingat dan dituliskan kembali dalam ujian.
Meskipun model ini memiliki kelebihan dalam memperkaya pengetahuan siswa, ia sering dianggap kurang memberi ruang bagi pemahaman mendalam. Belajar dalam arti kuantitatif terkadang hanya menekankan pada aspek “berapa banyak” materi yang dikuasai, bukan pada sejauh mana materi tersebut dapat diaplikasikan dalam kehidupan nyata.
2. Rumusan Institusional: Belajar Sebagai Validasi
Rumusan kedua adalah rumusan institusional, yang menekankan pada proses validasi atau pengabsahan terhadap penguasaan siswa atas materi yang telah dipelajari. Dalam konteks ini, belajar erat kaitannya dengan proses mengajar yang dilakukan oleh guru.
Biggs menjelaskan bahwa mutu belajar siswa sangat dipengaruhi oleh mutu mengajar yang diberikan. Apabila guru mampu menyampaikan materi dengan baik, maka perolehan siswa juga akan lebih optimal. Bukti bahwa seseorang telah belajar dapat dilihat dari skor atau nilai yang ia peroleh dalam evaluasi formal.
Contohnya, seorang siswa yang mengikuti ujian akhir semester akan dianggap telah belajar apabila ia memperoleh nilai yang memadai. Nilai tersebut menjadi indikator bahwa siswa telah melalui proses validasi akademik. Dengan demikian, belajar dalam pengertian institusional sering kali berkaitan erat dengan sistem penilaian dan pengakuan formal dari lembaga pendidikan.
Namun, pendekatan ini juga memiliki keterbatasan. Penilaian institusional kadang tidak sepenuhnya mencerminkan kemampuan nyata siswa. Ada kalanya siswa memperoleh nilai tinggi melalui hafalan semata, tanpa benar-benar memahami makna dari materi yang dipelajari.
3. Rumusan Kualitatif: Belajar Sebagai Proses Memahami Dunia
Rumusan ketiga, yakni rumusan kualitatif, dianggap sebagai dimensi paling mendalam dalam pemikiran Biggs. Dalam perspektif ini, belajar bukan sekadar menumpuk informasi atau sekadar memperoleh validasi nilai, melainkan suatu proses untuk memperoleh pemahaman dan cara menafsirkan dunia di sekitar.
Belajar dipahami sebagai upaya siswa untuk mengembangkan daya pikir yang berkualitas, melatih kemampuan berpikir kritis, serta memecahkan masalah nyata. Tujuan utamanya adalah membentuk individu yang tidak hanya cerdas secara akademis, tetapi juga mampu menerapkan ilmunya dalam kehidupan sehari-hari.
Sebagai contoh, ketika siswa belajar tentang ekosistem, ia tidak hanya diminta menghafalkan jenis-jenis flora dan fauna. Sebaliknya, ia didorong untuk memahami hubungan antar komponen ekosistem serta bagaimana menjaga keseimbangannya. Dengan cara ini, belajar menjadi proses yang melibatkan penalaran, pemahaman mendalam, serta pengembangan sikap yang relevan dengan kehidupan nyata.
Pentingnya Tiga Rumusan Belajar dalam Pendidikan
Ketiga rumusan yang dikemukakan John Burville Biggs sebenarnya tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Dalam praktiknya, proses belajar sering kali mencakup ketiganya secara berurutan maupun bersamaan.
- Dimulai dari aspek kuantitatif, siswa terlebih dahulu menguasai sejumlah fakta dan informasi dasar.
- Dilanjutkan dengan aspek institusional, yaitu validasi kemampuan melalui evaluasi formal yang terstruktur.
- Kemudian diperdalam melalui aspek kualitatif, yakni mengolah pengetahuan tersebut agar memiliki makna dan dapat diaplikasikan dalam kehidupan nyata.
- Apabila ketiga aspek ini berjalan seimbang, maka proses belajar dapat menghasilkan output yang optimal, baik dari segi pengetahuan, keterampilan, maupun sikap.
Relevansi Pemikiran Biggs dalam Pendidikan Modern
Pemikiran John Burville Biggs masih sangat relevan dengan kondisi pendidikan saat ini. Di era globalisasi dan perkembangan teknologi, belajar tidak cukup hanya berfokus pada penguasaan materi. Siswa perlu dibekali kemampuan berpikir kritis, kreatif, serta mampu beradaptasi dengan perubahan.
Sistem pendidikan modern banyak yang mulai mengarah pada pendekatan kualitatif. Misalnya, melalui metode pembelajaran berbasis proyek, diskusi kelompok, maupun pembelajaran kolaboratif yang menekankan pada pemecahan masalah. Namun, aspek kuantitatif dan institusional tetap memiliki tempat penting, karena tanpa penguasaan dasar yang kuat, proses pemahaman mendalam tidak akan bisa dicapai.
Kesimpulan
Belajar secara umum dapat dipahami sebagai proses perubahan dari tidak tahu menjadi tahu, dari tidak mengerti menjadi mengerti, serta dari tidak bisa menjadi bisa. John Burville Biggs, seorang psikolog pendidikan asal Australia, memberikan kerangka pemikiran yang komprehensif mengenai hakikat belajar melalui tiga rumusan: kuantitatif, institusional, dan kualitatif.
Rumusan kuantitatif menekankan pada penguasaan materi sebanyak mungkin, rumusan institusional menyoroti pentingnya validasi melalui sistem penilaian formal, sementara rumusan kualitatif menekankan pada pemahaman dan pemaknaan dunia. Ketiga rumusan tersebut, apabila dipadukan, mampu menghasilkan proses belajar yang utuh dan berkualitas.
Dengan memahami ketiga dimensi belajar ini, pendidik dapat merancang metode pembelajaran yang lebih seimbang, sehingga siswa tidak hanya cerdas secara akademis, tetapi juga memiliki kemampuan berpikir kritis, kreatif, serta mampu menghadapi tantangan kehidupan nyata.
Sumber: John Burville Biggs dalam Teaching for learning: the view from cognitive psychology: 1991.
Definisi Belajar Menurut John Burville Biggs – Padamu Negeri